Daftar Blog Saya

Senin, 03 Oktober 2011

Pembelajaran Hadist


I. PENGERTIAN ILMU HADIS
Ilmu hadis (ulum al-hadis) terdiri dari dua kata, yaitu ilmu (ulum) dan al-hadis. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, yang berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadis di kalangan ulama hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.” dengan demikian, gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadis nabi saw”.
Sedangakan menurut ulama mutaqaddimin adalah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ اتِّصَالِ اْلأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صلّى الله عليه وسلّم مِنْ حَيْثُ مَعْرِفَةِ اَحْوَالِ رُوَّاتِهَا ضَبْطًا وَعَدْلًا وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اتِّصَالاً وَانْقِطَاعًا

Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul SAW dari segi hal ihwal para perawinya, kedabitan, keadilan, dan dari bersambung tidaknya mata rantai sanad.
Ilmu hadis juga diartikan sebagai suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui betul tidaknya ucapan, perbuatan, keadaan atau lain-lainnya, yang orang katakan dari nabi Muhammad saw. Dapat juga diartikan sebagai pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantarkan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan, atau dengan kata lain, ilmu hadis adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan. Sanad adalah rangkaian rijal yang menghantarkan kepada matan. Sedangkan matan adalah perkataan yang terletak di penghujung sanad.
Pada perkembangan selanjutnya oleh ulama mutaakhirin ilmu hadis ini dipecah menjadi dua, yaitu Ilmu hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Pengertian Ilmu Hadis menurut Ulama Mutaqodimin di atas dimasukkan kedalam Ilmu Hadis Dirayah.

A.      ILMU HADIS RIWAYAH
Ajjaj al Khatib berpendapat, Ilmu Hadis Riwayah adalah
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَقُوْمُ عَلى نَقْلِ مَا أُضِفَ إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ خُلُقِيَّةٍ نَقْلاً دَقِيْقًا مُحَرَّرًا
Ilmu Pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat maupun tingkah lakunya.
Ibnu al-Akfani mengatakan,
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَى اَقْوَالِ النَّبِى صلى الله عليه وسلم وَاَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرِ اَلْفَاظِهَا
Ilmu yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisannya atau pembakuan lafadz-lafadznya. Ulama yang merintis lahirnya Ilmu Riwayah ini adalah Muhammad bin Syihab az Zuhri. 
Objek Ilmu Hadis Riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan atau mendewankan. Dalam menyampaikan atau membukukan hadis hanyadisebutkan apaadanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya, ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz ( kejanggalan ) atau 'illat ( kecacatan ) matan haadis, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik keadilan, kedzabitan maupun kefasikannya.
B.       ILMU HADIS DIRAYAH
Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut sebagai Ilmu Musthalah Hadis, Ilmu Ushul Al Hadis, Ulum Al-Hadis, dan Qowa'id Al-Tahdis. At-Tirmidzi mendefinisikan ilmu ini dengan :
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْرِيْ بِهَا أَحْوَالُ مَتْنٍ وَسَنَدٍ وَكَيْفِيَةِ التَّحَمُّلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِك
Kaidah-kaidah atau undang-undang untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Hadis, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu ini juga dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana caranya untuk mengetahui kedudukan sebuah Hadis.
Hasbi ash Shidiqi mengatakan, Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari sisi diterima atau ditolaknya sebuah Hadis dan yang berkaitan dengan itu.
Ibnu al Akfani berpendapat,
عِلْمٌ يُعْرَفُ مِنْهُ حَقِيْقَةُ الرِّوَايَةِ وَشُرُوْطُهَا وَاَنْوَاعُهَا وَاَحْكَامُهَا وَحَالُ الرُّوَاةِ وَشُرُوْطُهُمْ وَاَصْنَافُ الْمَرْوِيَّاتِ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا  
Ilmu yang padanya kita mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat periwayatan, macam-macamnya, hukum-hukumnya, keadaan perawi, syarat-syarat para perawi, macam-macam yang diriwayatkan, dan segala yang berkaitan dengan itu.
-          Hakikat periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis atau sumber berita
-          Syarat-syarat periwayatan adalah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan ( Turuku At-Tahammul )
-          macam-macam periwayatan adalah membicarakan bersambung dan tidaknya periwayatan dan lain-lain
-          Hukum-hukum periwayatan ialah membicarakan diterima atau ditolaknya suatu hadis
-          Keadaan Perawi membicarakan keadilan dan kecacatan serta syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis
-          Macam-macam hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada kitab-kitab tashnif, kitab tasnid dan kitab mu'jam
Dan ada juga yang menjelaskan bahwa Ilmu Hadis Dirayah adalah :
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَبْحَثُ فِى اْلقَوَاعِدِوَالْأَسَسِ وَالْقَوَانِيْنَ وَالْأُصُلِ الَّتِى نَسْتَطِيْعُ اَنْ نُمَيِّزَ بِهَا بَيْنَ مَا هُوَ صَحِيْحُ النَّسْبَةِ لِلرَّسُوْلِ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلَّمَ و مَا هُوَ مَشْكُوْكٌ فِى نِسْبَتِهِ اِلَيْهِ صَلَّى الله عَليْهِ وَسَلَّمَ
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar dan peraturan-peraturan yang dengannya kami dapat membedakan antara hadis yang sahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadis yang diragukan penyandarannya kepada beliau.
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwasannya Ilmu Hadis Dirayah adalah sekumpulan kaidah dan masalah untuk mengetahui keadaan perawi baik yang menyangkut pribadinya seperti akhlak, tabiat dan keadaan hafalannya maupun yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad. Sedangkan keadaan marwi yaitu kesahihan dan kedhaifan matan, serta dari segi lain yaitu diterima atau tidaknya suatu riwayat. 
Objek kajian Ilmu Hadis Dirayah ini adalah sebuah penelitian terhadap para perawi Hadis dan Keadaan mereka yang meriwayatkan Hadis, begitu juga halnya dengan sanad dan matannya.

II. FUNGSI ILMU HADIS
Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam perkembangan ilmu hadis terbagi menjadi dua cabang pokok ilmu hadis yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah yang masing masing memiliki objek yang berbeda dan tujuan yang berbeda. Objek Ilmu Hadis Riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan atau mendewankan, ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz ( kejanggalan ) atau 'illat ( kecacatan ) matan haadis, dan juga tidak membahas kualitas perawi baik keadilan, kedzabitan maupun kefasikannya sehingga tujuan  atau faedahnya adalah untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penukilan atau pengutipan sebuah Hadis yang bersumber dari Nabi SAW, sedang Ilmu Hadis Dirayah objeknya adalah adalah sebuah penelitian terhadap para perawi Hadis dan Keadaan mereka yang meriwayatkan Hadis, begitu juga halnya dengan sanad dan matannya,  sehingga kita ketahui bahwa tujuan dan faedah Ilmu Hadis Dirayah adalah untuk menetapkan diterima atau ditolaknya sebuah Hadis, sebagai pengamalan dari Hadis yang diterima dan meninggalkan dari Hadis yang ditolak.
Ibnu Kholdun dalam kitabnya "Muqoddimah" menyatakan, salah satu faedahnya adalah sebagai penelitian bagi kita pada sisi sanad yang sempurna syarat dan ketentuannya, agar diketahui Hadis yang wajib diamalkan. Sehingga dalam pengamalannya itu tidak menimbulkan keraguan lagi kecuali hanya keyakinan atau dzon (dugaan keras) atas kebenaran sebuah Hadis itu yang benar-benar bersandar dari Rasulullah SAW. Maka hendaklah bagi kita untuk berijtihad agar dapat mengahasilkan dzon tersebut. Yaitu dengan mengetahui Para Perawi Hadis dalam hal 'adl dan tsiqohnya.
Dengan demikian jika kita mempelajari Ilmu Hadis akan banyak sekali faedah yang bisa diperoleh, antara lain :
1.      Dapat mengetahui cara penukilan yang benar yang terhindar dari kejanggalan dan kecacatan
2.      Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dari masa ke masa sejak masa Rasul SAW sampai sekarang
3.      Dapat megetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadis.
4.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut
5.      Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan criteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam beristinbat.
Setelah ilmu hadis berkembang, maka faedah dan tujuan Ilmu Hadis menjadi lebih spesifik dengan cabang Ilmu Hadis masing-masing diantaranya :
1.      Ilmu rijal al-hadis, yakni ilmu yang mengkaji tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun angkatan setelahnya. Tujuannya dapat kita lihat pada definisinya sebagai berikut :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ رُوَّاةٌ الْحَدِيْثِ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُمْ رُوَّاةٌ لِلحَدِيْثِ
"Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis.
Ilmu ini sangat penting kedudukannya dalam lapangan ilmu hadis, karena objek kajian hadis pada dasarnya ada dua hal yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijalul hadis ini lahir bersama-sama dengan periwayatan hadis dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad.
Diantara kitab yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqot demi thabaqot adalah karya Muhammad ibn Sa'ad (w 230 H) yaitu Thabaqat Al-Qubra dan karya Khalifah ibn 'Ashfari ( w. 240 H) yaitu Thabaqat Al-Ruwwah dll
2.      Ilmu gharib al-hadis, yakni ilmu yang membahas redaksi hadis yang pelik-pelik yang tidak mudah dipahami, karena jarang dipakai.
Nabi adalah sefasih-fasihnya orang Arab yang diutus untuk menghadapi kaumya yang bermacam suku dan kabilah. Adakalanya beliau berhadapan dengan kaum tertentu dan beliau menggunakan bahasa dari kaum yang dihadapinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya setelah banyak bangsa non Arab memeluk Islam mendapati lafal-lafal yang digunakan itu terasa asing / gharib. Nah ilmu ini dimunculkan dengan tujuan untuk memudahkan dalam memahami hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang gharib tersebut.
Diantara para Ulama yang pertama-tama menyusun hadis-hadis yang gharib tersebut adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin Matsna Al-Taymi Al-Bisri (w. 210 H) dan Abu Al-Hasan bin Ismail Al-Mizini Al Nahawi (w. 204 H).
Salah satu kitab terbaik yang ada sekarang ini adalah kitab Nihayah Gharib Al-Hadis, karya Ibn Al Atsir.
3.      Ilmu al-nasikh wa al-mansukh, yakni ilmu yang membahas hadis-hadis nasikh (yang menghapus hukum), dan hadis-hadis mansukh (yang hukumnya dihapuskan)
اَلْعِلْمَ الَذِى يَبْحَثُ عَنِ اْلاَحَادِيْثِ اْلمُتَعَارِضَةِ الَّتِى لَايُمْكِنُ التَّوْفِيْقِ بَيْنَهَا مِنْ حَيْثُ اْلحُكْمِ عَلَى بَعْضِهَا بِاَنَّهُ نَاسِخٌ وَعَلَى بَعْضِهَا اْلاَخَرِ بِاَنَّهُ مَنْسُوُخٌ فَمَا ثَبَّتَ تَقَدُّمُهُ كَاَن مَنْسُوْخًا وَمَا ثَبَتَ تَأَخُّرُهُ كَانَا سِخًا.
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena (materi yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus dengan ketetapan bahwa yang dating terdahulu disebut mansukh dan yang dating kemudian disebut nasikh.
Ilmu ini sangat penting berkaitan istinbat hukum dari nash yang samar-samar. Untuk mengetahui nasah dan mansukh ini bias melalui beberapa cara :
a.       Dengan penjelasan dari dash atau syari' sendiri yang dalam hal ini adalah Rasul SAW
b.      Dengan penjelasan dari sahabat
c.       Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta sebab wurud hadis.
4.      Ilmu talfiq al-hadis, yakni ilmu yang menjelaskan tentang cara-cara mendudukkan hadis yang dhahirnya kelihatan bertentangan antara yang satu dengan lainnya.
عِلْمٌ بُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْفِيْقِ بَيْنَ اْلاَحَادِيْثِ اْلـمُــتَــنَاقِضَةِ ظَاهِرًا
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan
Ilmu ini juga disebut Ilmu Mukhtaliful Hadis dan yang telah berusaha menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi'i (204 H), Ibn Qurtaibah (276 H), At Tahawi (321H) dan Ibn Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq dan sudah di Syarhkan oleh Al-Ustadz Ahmad Muhammad Syakir.
5.      Ilmu ’ilal al-hadis, yakni ilmu yang membicarakan hadis-hadis yang secara dzahir kelihatan sah, kemudian terdapat beberapa kekeliruan/ kesalahan.
'Ilal jamak dari 'illah  yang artinya penyakit, yang menurut istilah ahli hadis adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status kesahihan hadis padahal dzahirnya tidak nampak ada cacat. Sedangkan definisi menurut muhadisin adalah :
عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنِ اْلاَسْبَابِ اْلخَفِيَّةِ اْلغَامِضَةِ مِنْ حَيْث اَنَّهَا تَقْدَحُ فِى صِحَّةِ اْلحَدِيْثِ كَوَصْلِ مَنْقَطِعٍ وَرَفْعِ مَوْقُوْفٍ وَاِدْخَالِ حَدِيْثٍ فِى حَدِيْثٍ وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ
Ilmu yang membahasa sebab-sebab yang tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis seperti mengatakan muthashil terhadap hadis yang munqoti' menyebut marfu' terhadap hadis yang maukuf, memasukkan hadis terhadap hadis lain dan hal-hal yang seperti itu.
6.      Ilmu asbab wurud al-hadis, yakni ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi menurunkan sabdanya dan masa-masa nabi menurunkan sabda tersebut.
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ اَلسِّبَبُ الَّذِى وَرَدَ لِاَجْلِهِ اْلحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ اَّلذِيْ جَاءَ فِيْهِ
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana Asbabu An-Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Qur'an
7.      Ilmu jarh wa ta’dil, yakni ilmu yang menerangkan catatan-catatan tentang keterangan memandang adil periwayat atau mencacat (menerangkan keadaan yang tidak baik) periwayat.
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّوَاةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِاَلْفَاظٍ مَحْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تِلْكَ اْلاِلْفَاظِ
Ilmu yang menerangkan kecacatan-kecacatan yang dihadapkan pada para perawi dan pentakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu


III. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KITAB-KITAB ILMU HADIS
Ilmu hadis sebenarnya sudah ada sejak zaman Rasulullah masih hidup, akan tetapi ilmu ini terasa diperlukan setelah Rasul wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna menseleksi periwayatan hdis. Di sinilah Ilmu Hadis Dirayah mulai terwujud dalam bentuk kaidah-kaidah yang sederhana.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah tersebut semakin disempurnakan oleh para ulama yang muncul pada abad ke-II dan ke-III hijriyah, baik mereka yang secara khusus menspesiallisasikan dirinya dalam mempelajari satu disiplin ilmu maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu yang berdiiri sendiri.
Sekalipun demikian, dalam perkembangannya tercatat bahwa ulama yang pertama kali menyusun ilmu hadis sebagai salah satu disiplin ilmu yang berdiri sendiri secara lengkap adalah
1.      Al-Qadliy Abu Muhammad al-Ramahurmuziy ( w 360 H ) dengan kitabnya الـمُحَدِّثُ الفَاصِلُ بَيْنَ الرَّاوِى وَالْوَعْىِ  Al-Muhaddits Al-Fashil baina Al-Rawi wa Al-Wa'i kemudian disusul oleh

2.      أبو عبد الله محمد بن عبد الله الحاكم النيسابوري  Al-Hakim Abu Abdillah al-Naesaburiy ( 321 – 405 ) dengan kitabnya berjudul معرفة علوم الحديث M'rifah Ulum Al-Hadis


3.      Abu Nu'man Ahmad bin Abdillah Al Asfahaniy (336-430) lalu al-Khatib Al-Baghdadiy (w. 463 H) dengan kitabnya berjudul الكفاية في قوانين الرواية dan الجامع لاداب الشيخ والسامع
4.      Al-Qadly 'Iyadl bin Jusa (w. 544 H) dengan kitabnya yang berjudul
 
العلم الاسماء تقييد و الضبط الرواية فى
5.      Abu Hafs 'Umar bin Abdul Majid al-Mayanzi ( W. 580 H. ) dengan kitabnya ما لا يسيع المحدِّثُ جهله Ma La Yasi'u Al-MuhadditsJahlahu
6.      Abu 'Umar dan 'Utsman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri ( W. 643 H ) dengan kitabnya علوم الحديث 'Ulumul Hadis yang kemudian dikenal dengan sebutan Muqoddimah Ibnu al-Shalah. Kitab yang terakhir ini oleh para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27  mukhtasyar-nya sehingga dapat dijadikan pegangan oleh generasi berikutnya.
Demikianlah kemudian muncullah berbagai macam bentuk kitab musthalah hadis dengan berbagai jenisnya baik nazham maupun natsar atau prosa dan syarah-syarahnya, misal Nazham al-Fiyyah karya Al-Suyuthi yang disyarahi oleh Syeh Mahfuz at-Tarmasyi ( pengasuh Pon Pes Termasyi Ponorogo Jawa Timur ) dengan judul Manhaj Dawin Nadhor dan Al-Taqrib karya Imam Nawawi yang disyarahi oleh As-Suyuthi sendiri dengan judul Tadrib al-Rawi.
Kitab karya ulama kontemporer misalnya Qowa'id At-Tahdis karya Jamaluddin Al-Qasimi 9w. 1332 H) dan Taisir Musthalah Al-Hadis karya DR. Mahmud At-Tahhan.



TAHAAMUL DAN ADAA’ AL-HADIS
(Menerima dan Menyampaikan Hadis)
Contoh hadis yang masih lengkap   sanad dan matannya dari kitab Shahîh al-Bukhariy  sebagai berikut :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (أخرجه البخاري)
Al-Bukhari berkata : Memberitakan  kepada kami al-Humaydiy Abdullah bin Zubayr, ia berkata : Memberitakan kepada kami Sufyan, ia  berkata : Memberitakan kepada kami Yahya bin Said al-Anshari, ia berkata : Mengkhabarkan  kepada kami Muhammad bin Ibrahim al-Taymi bahwa ia mendengar Alqamah bin Waqqash al- Laytsiy berkata aku mendengar Umar bin al-Khjathab di atas mimbar berkata : Aku mendengar  Rasulullah saw bersabda : “Sesusngguhnya segala amal itu disertai dengan niat….” (HR Bukhariy)
            Kata-kata yang bergaris bawah adalah lambang periwayatan bagaimana seorang periwayat menyampaikan Hadis, adakalanya menggunakan kalimat :    حدّثنا = memberitakan kepada kami, أخبرَني  = mengkhabarkan kepadaku,  سمِع = ia mendengar atau سمِعْتُ = aku mendengar. Menyampaikan periwayatan disebut adâ’ dan menerima periwayatan disebut dengan  Tahammul.  Lafal-lafal yang digunakan dalam  periwayatan tersebut mempunyai makna tersendiri yang menunjukkan keabsahan periwayatan. Kegiatan tahammul dan adâ’  hadis  adalah proses periwayatan Hadis baik menerima atau menyampaikannya yang dengan sengaja dilakukan oleh para periwayat secara ilmiah dengan menggunakan teori  dan metode tertentu demi keoriginalitas Hadis.  Proses penerimaan dan penyampaian Hadis seperti proses pembelajaran dalam dunia pendidikan  atau di majlis ta’lim, ada murid dan ada guru, ada santri dan ada kyai,  ada yang menerima dan ada yang memberi.
A.    Cara Penerimaan Riwayat Hadis ( Tahammul  Hadis)
Sebelum membahas tentang cara-cara penerimaan riwayat Hadis terlebih dahulu dibahas tentang pengertian tahammul  Hadis, agar mudah memahaminya.  Secara etimologi  tahammul (تحمل)  dari kata   تَحمَّل يتحمَّلُ تحمُّلاً   Artinya,   membawa atau memikul dengan berat. Menurut terminologi ulama ahli Hadis  Tahammul adalah  :

أَخْذُ الْحَدِيْثِ  وَ تَلَقِّيْهِ عَنِ الشّيْخِ بِطَرِيْقٍ مِنْ طُرُقِ التَّحَمُّلِ

Mengambil dan menerima Hadis dari seorang syeikh  dengan cara  tertentu dari beberapa cara penerimaan.
Atau secara singkat  dikatakan  dalam Ilmu Mushthalah al-Hadis :
 التحمُّلُ : هُوَ أَخْذُ الْحَدِيْثِ عَنِ الشَّيْخِ بِطَرِيْقٍ مِنْ طُرُقِ التَّحَمُّلِ
Tahammil adalah mengambil Hadis dari seorang Syeikh dengan metode tertentu dari beberapa metode.
Hadis diterima dari seorang  syeikh atau dari seorang guru karena dialah yang menyampaikan Hadis. Dalam penerimaan Hadis  disebutkan lafal-lafal yang menunjukkan cara penerimaan itu, karena nantinya akan dinilai bagaimana pertemuan periwayatannya diterima atau tidak.
Sebagaimana keterangan di atas bahwa proses penyampaian dan penerimaan Hadis seperti proses pembelajaran di lembaga pengajaran atau di majlis ta’lim.   Para ulama tidak mempersyaratkan secara  ketat dalam tahammul.  Ibarat orang masuk ke majlis ilmu tidak ada pembatasan tertentu, semua orang boleh saja mengikutinya sekalipun non muslim dan belum baligh, hanya nanti persyaratan yang lebih  ketat adalah dalam menyampaikan periwayatan yang disebut dengan adâ’. Sama halnya persyaratan ketat adanya pada guru bukan pada peserta pengajian.
Menurut mayoritas ulama  anak kecil yang belum baligh boleh atau syah  menerima Hadis, asal sudah mumayyiz (paham berkomunikasi) Sebagaimana yang dilakukan  para sahabat dan tabi`in menerima periwayatan dari sahabat yang masih kecil seperti Hasan  Husain, Ibn `Abbas, dan lain-lain. Pendapat yang kuat anak sudah mumayyiz artinya sudah terampil dalam  berkomunikasi  dan mampu menjawab ketika ditanya sekalipun usianya di bawah 5 tahun. Ibnu Katsir dalam bukunya al-Ba’its al-Hatsits fi Ikhtishar ‘Ulûm al-Haîtis 1/13 mengungkapkan sebagai berikut : 
يَصِحُّ تحمُّلُ الصِّغارِ الشهادةَ والأخبارَ وكذلك الكفَّارُ إذا أدُّوْا ما حمِلُوْهُ في حالِ كمَالِهِمْ، وهو الاحتلامُ والإسلامُ. ويَنْبَغِي الْمَباراةُ إلى إسْمَاعِ الولدانِ الحديثَ النبويَّ. والعادةُ المطَّرِدَةُ في أهلِ هذه الأعصارِ وما قَبْلهَا بِمُدَّةٍ مُتطاوِلةٍ: أن الصغيرَ يُكتَبُ له حضورٌ إلى تمامِ خمسِ سنِيْنَ من عُمْرِه، ثم بعد ذلك يُسمَّى سَمَاعاً، واسْتَأْنَسُوا في ذلك بحديثِ محمودٍ بنِ الربيع: أنهُ عقَل مجَّةً مجَّها رسولُ الله صلى الله عليه وسلم في وجهِه مِنْ دلوٍ في دارِهِمْ وهو ابنُ خمسِ سنِينَ. (رواه البخاري)
Sah saja anak-anak kecil menerima persaksian  dan pemberitaan (khabar), demikian juga orang-orang kafir. Mereka menyampaikan apa yang diterimanya pada saat kesempurnaan mereka yaitu sudah baligh dan beragama Islam.  Sayogyanya ada dorongan kepada anak-anak  mendengarkan Hadis Nabi. Tradisi yang berlaku pada masa-masa ini dan sebelumnya pada masa yang panjang, bahwa anak kecil ditulis kehadirannya ketika telah mencapai usia 5 tahun, setelah itu didebut Samâ’ (menerimna Hadis dengan cara mendengar). Mereka berpedoman pada Hadis Mahmud bin al-Rabî’; bahwa ia  ingat Nabi saw meludahkan  sekali ludah di mukanya  dari air timba di rumah mereka, sedang ia berusia lima tahun.” (HR. al-Bukhari)
Anak kecil dan orang kafir boleh saja tahammul baik dalam syahadah maupun dalam menerima khabar, tetapi ketika adâ (menyampaikan periwayatan) harus sudah baligh dan beragama Islam. Anak kecil ketika yang ikut hadir di majlis sebelum berumur 5 tahun disebut al-Hudhûr  dan setelah berusia tersebut disebut al-Samâ’(menerimna Hadis dengan cara mendengar). Dasarnya Hadis Mahmud bin al-Rabî’ di atas.
 فَجعَلُوهُ فرْقاً بين السَّماعِ والْحُضورِ، وفي روايةٍ: وهوَ ابنُ أربعِ سِنِينَ. وضبَّطَه بعضُ الْحُفَّاظِ بِسِنّ التمييزِ. وقال بعضُهم: أن يفَرِّقّ بينَ الدابَّةِ والحمارِ. وقال بعضُ الناس: لا ينبغِي السَّماعُ إلاَّ بعدَ العشرِينَ سَنَةً. وقال بعضٌ: عشرٌ. وقال آخرُوْنَ: ثَلاثُوْنَ. والمدارُ في ذلك كلِّهِ على التَّمِييْزِ، فمتى كان الصِبيُّ يَعْقِل كُتِبَ له سَمَاعٌ.
Mereka membedakan antara sekedar hadir  dan al-Samâ’. Dalam satu riwayat anak yang dapat diterima al-Samâ’ adalah  berusia 4 tahun,  sebagian hufazh mendefinisikan telah mencapai usia tamyîz (sudah pandai membedakan), dan sebagian mereka, telah  membedakan antara binatang dan  keledai.  Sebagain ulama ulama tidak menerima  al-Samâ’ melainkan setelah berusia 20 tahun, sebagian berpendapat  10 tahun dan ulama lain berpendapat 30 tahun. Intinya anak tersebut sudah mumayyiz ,  bila anak kecil telah mengerti dan paham ditulis sebagai Samâ’.
Cara atau metode  Tahammul Hadis tidak dapat dipisah-pisahkan dari  Adâ’, karena ibarat transaksi  dua orang, keduanya harus ada. Metode tahammul berarti juga metode adâ’ dalam Hadis. Metode  Tahammul dan Adâ Hadis  ada 8 macam : yaitu
1.      Metode  Al-Sima’ (السّماع )
Metode al-Simâ` adalah  murid yang hadir mendengar bacaan Syeikh, baik dari hapalannya maupun dari catatannya, baik dalam majlis imla’ (dekte) atau yang lain. Dalam pengajaran metode ini sebagaimana metode ceramah, seorang syeikh  menyampaikan periwayatan Hadis dengan cara  membaca dan seorang murid aktif mendengar.  Menurut mayoritas ulama metode tahammul al-Simâ`  ini tingkatan yang paling tinggi di antara sekian metode, karena metode al-Simâ` ini berarti  syeikh dan murid bertemu langsung (liqâ’) dan berhadapan langsung (ber-musyâfahah).
2.      Metode  القراءة /العرض Al-Qirâ’ah / Al-'Ardl (membaca)
Maksud metode ini seorang murid membaca Hadis sedang  Syeikh mendengarkan bacaannya, baik  murid itu membaca sendiri atau mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan  dari  hapalannya atau dari tulisan (kitab)  yang telah dikoreksi oleh Syeikh, baik langsung  didengarkan syeikh atau orang yang dipercaya untuk mendengarkannya. Mayoritas muhadditsin menyebut metode ini dengan الْعَرْضُ او عَرْضُ الْقِراَءة atau dalam  metode pengajaran disebut Sorogan. Hukum periwayatan, jumhur ulama memperbolehkan metode  al-Qira’ah ini, bahkan meletakkan nomor dua tingkatannya di bawah metoda al-Sima’.
3.      Metode  Al-Ijazah (الإجازة)
Ijazah menurut bahasa adalah membolehkan atau  mengizinkan. Misalnya  seorang murid diizinkan meriwayatkan suatu ilmu  dari guru. Seorang murid yang telah menamatkan studinya diberi Ijazah artinya diizinkan keluar dari sekolah. Makna Ijazah menurut istilah  :
إذْنُ الْعَالِمِ وَسَمَاحُهُ لِشَخْصٍ أَوْ أَكْثَرَ بِرِوَايَةِ بَعْضِ مَرْوِيَّاتِه
 Izin seorang alim kepada seorang murid atau lebih untuk meriwayatkan sebagaian periwayatannya baik secara ucapan atau tertulis
Misalnya, ucapan seorang syeikh kepada muridnya : “ Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dari padaku Shahîh al-Bukhârî.” Dalam metode ijazah biasanya tidak dibacakan atau dibacakan sebagian saja dari isi kitab tersebut.    Metode Ijazah ini memiliki  beberapa syarat, di antaranya seorang murid ahli atau layak menerima Ijazah, adanya  kemampuan memahami apa yang  diijazahkannya, dan naskah murid hendaknya dipaparkan sesuai dengan aslinya.
4.      Metode  Al-Munawalah (المناولة)
Maksud metode ini adalah seorang Syeikh memberikan  sebuah lembaran/ catatan/ sebuah kitab yang berisikan  Hadis kepada muridnya tanpa ada perintah meriwayatkan. Misalnya seorang Syeikh hanya mengatakan  :
a.   هذا  مِنْ حَدِيثي   = Ini dari Hadisku  atau
b.   هذا مِنْ سَمَاعَتىِ عن فلانٍ  = Ini dari apa yang saya dengar dari si Fulan. Lantas diriwayatkan oleh muridnya.
Hukum periwayatan metode  Munâwalah yang disertai dengan Ijazah boleh-boleh saja, bahkan bentuk Ijazah yang paling tinggi dan tingkatannnya di bawah setelah metode al-Samâ` dan al-Qirâ’ah `ala al-Syeikh. Sedangkan periwayatan Munâwalah yang tidak disertai Ijazah menurut pendapat yang shahih tidak diperbolehkan.
5.      Al-Mukatabah (المكاتبة)
Maksud metode ini ialah seorang Syeikh  menulis apa yang ia dengar untuk murid yang hadir atau yang tidak hadir di majlis  dengan tulisan Syeikh sendiri atau dengan perintahnya, untuk dikirim kepadanya melalui orang yang terpercaya.  Hukum metode Mukâtabah yang disertai Ijazah  dapat diterima dan sama dengan tingkatan metode Munâwalah berijazah dalam kualitas dan keabsahannya. Adapun Mukâtabah yang tanpa Ijazah terjadi pro dan kontra di kalangan para ulama, di antara mereka melarang dan yang lain memperbolehkannya. Menurut pendapat yang shahih diperbolehkan, yaitu pendapat mayoritas ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, karena tulisan seorang Syeikh dengan sesamanya atau kepada muridnya  memberikan isyarat makna  ijazah.  
6.      Al-I’lam (الإعلام)
Maksudnya, seorang syeikh memberi informasi  kepada muridnya bahwa Hadis ini atau kitab ini yang ia dengar atau yang ia  riwayatakan, tanpa memberikan ijazah secara  eksplisit. (jelas tegas tidak berbelit-belit)
Hukum periwayatan metode ini diperselisihkan para ulama, di antara mereka  ada memperbolehkan, dengan alasan informasi seorang syeikh secara inplisit mengandung ijazah dalam periwayatan. Seorang syeikh yang tsiqah dan amanah tidak mungkin mengaku menerima Hadis yang ia tidak mendengar, informasi syeikh kepada muridnya  tentang periwayatan menunjukkan adanya  indikasi rida dari syeikh terhadap tahammul dan adâ’ al-Hadîts. Di antara mereka ada yang melarang, yaitu pendapat yang shahih, karena terkadang syeikh menginformasikan bahwa Hadis ini periwayatannya, tetapi tidak boleh diriwayatkan karena adanya cacat, kecuali jika disertai ijazah.
7.      Al-Washiyyah (الوصيّة)
Metode  al-Washiyah ialah seorang Syeikh ketika akan pergi jauh atau sebelum matinya berpesan agar kitab yang ia riwayatkan atau yang ia susun diberikan  kepada seseorang yang wajar dipercaya baik dekat atau jauh.
Sebagian mutaakhkhirin berpendapat bahwa metode wasiat mengandung makna izin periwayatan seperti halnya metode munâwalah di atas. Sebagian ulama salaf juga melakukan metode tahammul ini, seperti yang dilakukan  Abu Qilâbah Abdullah bin Zayd al-Jurumiy (w. 104 H)   sebelum wafatnya berpesan  agar kitab-kitabnya buat al-Sukhtiyaniy (w. 131 H), kitab-kitab itu diserahkan kepadanya dan sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham.
Bentuk ungkapan adâ’ al-Hadîts :
a.  وْصى الىّ فلانٌ بكذا   أ = Si Fulan berwasiat kepadaku begini,
b.  حدّثنى فلانٌ  وصيةً   = Si Fulan memberitakan kepadaku  dengan wasiat. (metode al-washiyah bercampur dengan metode al-samâ)

8.      Al-Wijadah (الوجادة)
Maksud metode ini  seseorang mendapatkan sebuah atau beberapa tulisan Hadis yang diriwayatkan seorang Syeikh yang ia kenal, tetapi ia tidak mendengar dan tidak ada ijazah dari padanya. Atau  seorang murid mendapatkan sebuah kitab  tulisan seorang yang hidup semasa dan dikenal tulisannya, baik ia pernah bertemu atau tidak, atau tulisan orang yang tidak semasa    tetapi diyakini benar bahwa kitab tersebut  tulisannya dengan bukti-bukti kuat, seperti persaksian ahli ilmu, popularitas kitab bagi pemiliknya,  adanya sanad yang kuat, dan lain-lain maka ia boleh meriwayatkannya secara bercerita (hikayah). Misalnya : “Aku temukan  dalam kitab si Fulan begini…., atau si Fulan berkata begini dalam kitabnya”  tidak dengan cara mendengar secara langsung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar